Penulis lepas. Saat ini aktif di bidang riset dan kajian HAM di organisasi KontraS Aceh.
Kemiskinan dan Ilusi Identitas
Kamis, 14 Agustus 2025 08:51 WIB
Kita diingatkan, metode dan klaim keliru bisa menciptakan identitas buatan yang mengikat nasib jutaan orang dalam kebijakan yang tak adil.
***
Pada Maret lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kabar yang terdengar luar biasa, yakni, tingkat kemiskinan di Indonesia turun menjadi 8,47 persen, atau setara 23,8 juta orang. Penurunan ini memang hanya 0,10 poin dibanding tahun lalu. Namun pemerintah tetap memandangnya sebagai keberhasilan.
Angka ini dipublikasikan secara luas, seolah kemajuan. Pertanyaannya, apakah angka tersebut mencerminkan kenyataan?
Lembaga riset ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik klaim ini. Mereka bilang metode penghitungan BPS sudah usang, metode yang bertahan hampir 50 tahun tanpa pembaruan. Menurut Celios, pendekatan itu gagal menangkap realitas kemiskinan saat ini di Indonesia.
Bahkan, ujar mereka, Bank Dunia melaporkan data yang jauh berbeda. Laporan terbaru mengungkap sekitar 60 hingga 68 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Artinya, antara 172 juta hingga 194 juta orang masih miskin menurut standar global. Selisih ini sangat besar dan memicu perdebatan luas.
Alasana munculnya perbedaan ini terletak pada metodologi, demikian jelas Celios, 28 Mei lalu. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar. Garis kemiskinan dihitung dari pengeluaran minimal untuk memenuhi kebutuhan makanan dan nonmakanan.
Adapun komponen makanan didasarkan pada konsumsi 2.100 kilokalori per orang per hari. Komponen nonmakanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan transportasi. Garis ini dinyatakan dalam rupiah, dan saat ini berada di angka Rp609.160 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.305 per hari.
Namun, metode ini tak berubah sejak lama. Lonjakan harga barang, struktur pengeluaran bergeser, dan pola hidup berubah drastis. Beban utang rumah tangga meningkat, biaya pendidikan melonjak, dan kebutuhan layanan kesehatan makin mahal.
Semua faktor itu barangkali tak tercermin dalam pendekatan badan statistik.
Celios menegaskan bahwa indikator lama tidak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan modern. Rumah tangga dengan pengeluaran sedikit di atas Rp609.160 mungkin tampak tidak miskin secara statistik, tetapi tetap kesulitan membayar sekolah anak atau mengakses layanan kesehatan.
BBC Indonesia menyoroti dampak konkret dari garis ini. Dalam liputannya, akhir Juli lalu, mereka mewawancarai warga yang resah karena bisa jadi bakal dicoret dari daftar penerima bansos. Alasannya, pengeluaran mereka sedikit di atas Rp20.305 per hari.
Warga menganggap angka ini tak masuk akal. Dengan Rp70 ribu sehari saja, hidup sudah serba sulit, ujar seorang penerima. Jelas ada kesenjangan antara data resmi dan kenyataan hidup di tengah masyarakat.
Identitas yang Diproduksi Negara
Pandangan Amartya Sen mungkin relevan untuk mengurai kaitan problem garis kemiskinan dan dampaknya terhadap pembelahan identitas, serta dampak lanjutannya.
Dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny, dijelaskan bagaimana kategorisasi yang tampak teknis itu dapat mempengaruhi hidup manusia.
Sen mencontohkan nilai ujian melamar pekerjaan. Seseorang yang terpaut satu angka dari batas kelulusan akan memiliki masa depan berbeda. Kategori lulus atau gagal menciptakan garis pemisah. Perbedaan kecil itu berdampak besar bagi hidup seseorang, ada yang bekerja dan yang tidak.<--more-->
Prinsip ini juga berlaku untuk garis kemiskinan. Angka Rp609.160 bukan sekadar batas pengeluaran. Ia menjadi garis identitas yang memisahkan dua kelompok: miskin dan tidak miskin menurut negara.
Jika pengeluaran Anda di bawah garis, Anda berhak menerima bantuan sosial. Jika sedikit di atas, Anda keluar dari daftar penerima, meskipun masih rentan secara ekonomi.
Sen menulis bahwa ilusi identitas tunggal adalah bahaya besar. Identitas yang disederhanakan mengabaikan keragaman realitas hidup.
Dalam konteks ini, identitas “miskin menurut negara” diciptakan oleh kebijakan statistik. Identitas ini menentukan siapa yang layak mendapat bantuan dan siapa yang tidak. Masalahnya, identitas ini tidak mencerminkan kondisi riil.
Sen juga mengingatkan, bahkan klasifikasi arbitrer akan memperoleh makna sosial jika diterapkan. Agaknya garis kemiskinan ini adalah contoh nyata. Ia bukan sekadar indikator, tetapi juga penentu nasib jutaan orang.
Kebijakan publik, distribusi bansos, dan alokasi anggaran negara semua bergantung pada kategori ini.
Kembali pada penerapan metode penghitungan yang tadi dianggap tak lagi relevan. Jika tetap diterapkan, ada beberapa hal yang jadi kekhawatiran.
Pertama, bantuan sosial menjadi salah sasaran. Banyak keluarga miskin gagal mendapatkan bantuan karena pengeluaran mereka sedikit di atas garis. Sebaliknya, beberapa rumah tangga yang lebih mampu mungkin lolos verifikasi karena faktor administrasi.
Kedua, data yang tidak akurat mengganggu efektivitas kebijakan. Program pengentasan kemiskinan memerlukan target yang tepat. Jika angka dasar tidak relevan, strategi akan keliru.
Akibatnya, anggaran besar yang dialokasikan untuk perlindungan sosial tidak memberikan dampak signifikan.
Ketiga, ada indikasi manipulasi politik. Penurunan 0,10 persen dalam laporan BPS ditampilkan sebagai keberhasilan. Namun, Celios menilai ini lebih mencerminkan permainan garis ketimbang perbaikan nyata.
Media juga sempat melaporkan bahwa 210 ribu orang dihapus dari kategori miskin pada Maret 2025. Langkah ini diduga untuk menjaga agar angka kemiskinan terlihat turun, meskipun kesejahteraan masyarakat tidak berubah.
Keempat, muncul krisis kepercayaan. Masyarakat sadar bedanya data pemerintah dan realitas hidup. Ketika bantuan tidak tepat sasaran, warga mulai tak yakin pada negara. Mereka mempertanyakan integritas data dan tujuan kebijakan.
Karena kepercayaan dianggap modal sosial bagi stabilitas negara, hilangnya kepercayaan ini jadi dampak serius.
Kebijakan dan Bahaya Ilusi
Kasus ini menunjukkan bagaimana identitas yang diproduksi negara dapat menimbulkan ketidakadilan. Identitas “miskin menurut BPS” bukanlah fakta alami. Ia lahir dari metodologi dan kepentingan.
Identitas ini kemudian dijadikan dasar kebijakan. Dampaknya bukan hanya teknis, tetapi juga politis. Identitas ini membatasi akses jutaan orang terhadap hak dasar.
Amartya Sen mengingatkan kita tentang risiko ketika manusia didefinisikan oleh kategori sempit. Dalam kebijakan publik, hal ini tampak jelas pada pengelolaan kemiskinan. Angka digunakan untuk membenarkan kebijakan, bahkan ketika angka itu tidak lagi relevan.
Ini lah yang menciptakan ilusi keberhasilan (seperti yang diklaim BPS tadi), yang lantas mengabaikan penderitaan riil.
Garis kemiskinan ini memperlihatkan bagaimana identitas tidak selalu lahir secara alami. Identitas sering kali dibentuk oleh sistem dan institusi, termasuk negara.
Dalam hal ini, negara melalui BPS menetapkan siapa yang disebut “miskin” dan siapa yang tidak.
Penetapan ini terlihat teknis, namun sebenarnya bersifat politis karena mempengaruhi akses terhadap hak dasar seperti bantuan sosial dan program perlindungan.
Identitas “miskin menurut BPS” bukan hanya label administratif. Ia menjadi penentu nasib karena memisahkan masyarakat dalam dua kelompok yang berbeda perlakuan.
Bahaya muncul ketika kategori ini dianggap mewakili kenyataan sepenuhnya. Garis kemiskinan seolah menjadi ukuran tunggal yang sahih, padahal ia hanya salah satu indikator.
Penyederhanaan identitas seperti ini, yang disebut Amartya Sen, sebagai ilusi yang berbahaya. Ketika negara menegaskan bahwa orang miskin hanyalah mereka yang berada di bawah Rp609.160 per bulan, maka semua yang berada di atas angka itu, meski hidup dalam kesulitan, dianggap tidak miskin.
Akibatnya, mereka kehilangan hak bantuan, sementara penderitaan mereka tetap nyata. Inilah bagaimana ilusi statistik menghapus kerentanan sosial.
Implikasi dari ilusi ini bukan hanya soal moral, tetapi juga strategi. Kebijakan publik yang dibangun di atas data yang sempit cenderung gagal mencapai tujuan. Program pengentasan kemiskinan tidak menyentuh kelompok yang sebenarnya rentan.
Lebih jauh lagi, kategorisasi sempit memberi peluang bagi manipulasi politik. Pemerintah bisa menampilkan penurunan angka kemiskinan sebagai keberhasilan, meskipun penurunan itu terjadi karena garis pengukuran yang rendah, bukan karena kesejahteraan masyarakat meningkat.
Ini menjadikan angka bukan lagi cermin realitas, melainkan alat legitimasi. Dan sulit pula memungkiri, hari ini, angka sering kali dianggap bentuk paling jujur dari kebenaran. Ia tampak objektif, bebas nilai, dan bisa dipercaya.
Namun, ini bisa berbahaya jika angka diyakinkan di atas metode yang lemah, atau tak lagi relevan, seperti ketika garis kemiskinan Indonesia tetap memakai pendekatan konsumsi tahun 1970-an untuk menggambarkan realitas 2025.
Dalam situasi seperti itu, angka berubah fungsi. Ia bukan lagi alat pencari kebenaran, tetapi menjadi alat pembenaran kebijakan. Pemerintah bisa bilang bahwa kemiskinan menurun karena statistik resmi menyebut demikian.
Padahal, masyarakat di lapangan tetap bergelut dengan harga kebutuhan pokok yang tinggi, pengeluaran pendidikan yang berat, atau utang digital yang mencekik. Realitas tidak berubah, tetapi angka dipoles agar terlihat menggembirakan.
Statistik kritis mengajak kita untuk tak terima angka mentah begitu saja. Penting bertanya, siapa yang membuat angka ini dan untuk apa. Dapat pula kita takar siapa yang diuntungkan jika angka dipercaya, dan siapa yang dirugikan saat angka itu dijadikan dasar kebijakan.
Dalam kasus kemiskinan, pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting karena menyangkut distribusi hak, bantuan, dan akses pada layanan dasar negara.<--more-->
Melalui pendekatan itu pula kita jadi paham, bahwa statistik bukan cuma masalah benar atau salah. Ia juga soal siapa yang punya kuasa untuk mendefinisikan kenyataan.
Dalam konteks ini, BPS bukan sekadar institusi pengolah data, namun juga aktor yang (bahkan kemudian) menentukan siapa dianggap layak mendapat bantuan negara. Jika garis kemiskinan tidak lagi menggambarkan kondisi nyata, maka fungsi statistik justru menciptakan ketimpangan baru.
Kita diingatkan juga, angka memang bisa membangun kepercayaan. Tapi jika angka itu tidak disokong secara etis dan metodologis, maka kepercayaan itu rapuh. Ia hanya akan memperkuat kebijakan yang tampak berhasil di atas kertas. Di sini, statistik bukan lagi sekutu rakyat, tapi menjadi alat penindasan yang halus.
Angka Penentu Hidup
Menyikapi metode yang dianggap tak lagi relevan itu, harusnya ada perubahan mendasar. Tinggalkan pendekatan tunggal berbasis pengeluaran. Metode penghitungan, setidaknya perlu mencakup dimensi yang lebih luas, termasuk pendidikan, kesehatan, beban utang, dan akses layanan publik.
Pendekatan multidimensi ini sudah diterapkan di banyak negara. Malaysia, misalnya, merevisi garis kemiskinan pada 2019 agar sesuai dengan biaya hidup modern. Langkah ini menambah jumlah penerima bantuan, tetapi memberikan gambaran yang lebih jujur.
Reformasi ini memang akan meningkatkan angka kemiskinan resmi. Namun itu bukan memperjelas kegagalan. Ia adalah cermin yang lebih akurat terhadap kondisi riil. Data yang valid adalah fondasi kebijakan yang efektif. Tanpa itu, strategi pengentasan kemiskinan bakal jadi sekadar retorika.
Cerita tentang garis kemiskinan bukan hanya tentang statistik. Ia adalah cerita tentang bagaimana angka dapat menentukan hidup manusia. Ia juga tentang bagaimana negara menciptakan identitas melalui kategorisasi yang tampak teknis.
Identitas ini membatasi akses, mengarahkan kebijakan, dan membentuk persepsi publik.
Jika ingin membangun kebijakan yang adil, harus mulai dari sini. Harus diakui bahwa angka bukan sekadar angka. Ia adalah instrumen kekuasaan, alat distribusi sumber daya, dan pembentuk identitas sosial.
Seperti kata Amartya Sen, ilusi identitas tunggal adalah ancaman bagi kebebasan manusia. Maka, garis kemiskinan seharusnya tidak menjadi alat untuk membatasi hak, tetapi harus jadi sarana untuk memperluas peluang.
Reformasi metodologi dalam menghitung kemiskinan baru langkah awal. Tetapi lebih dari itu, butuh perubahan paradigma. Kemiskinan penting dilihat bukan sebagai kategori, melainkan spektrum. []

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

20 Tahun Usai Konflik Aceh, Jalan Penyintas Masih Panjang
Minggu, 31 Agustus 2025 20:18 WIB
Kemiskinan dan Ilusi Identitas
Kamis, 14 Agustus 2025 08:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler